Tak
Seindah Dunia
By Euis Latifah
“Tempat
yang paling indah adalah tempat dimana kita bisa tersenyum bersama dengan
orang-orang yang kita cintai”
Brak
Terdengar suara gebrakan meja dari arah
ruang keluarga.
“Yah, Rara gak mau sekolah asrama. Kenapa
sih Ayah kekeh sekolahin Rara di sana? Ayah udah gak mau lagi ngurus Rara?
Ohhh, atau Ayah mau singkirin Rara sama kaya Ayah singkirin Ibu karena sekarang
Ayah udah punya keluarga baru” tunjukku pada perempuan yang duduk di sebelah
ayahku.
Plak
“Jangan kurang ajar kamu. Jaga omongan
kamu itu!” bentak ayahku dan diiringin dengan tamparannya.
Tidak terima dengan apa yang ayahk
lakukan, aku segera berlalari keluar rumah. Bukan, bukan tamparannya yang
sangat sakit, tapi hatiku yang lebih sakit. Ayahku 10 tahun yang lalu menikah
dengan wanita yang sekarang jadi ibu tiriku dan dia meninggalkan ibuku begitu
saja yang sedang koma, hingga ibuku meninggal 5 tahun yang lalu. Kini usiaku
sudah 15 tahun, dan ayahku ingin menyingkirkan aku dari rumahnya. Kalau kalin
sangka ibu tiriku itu jahat, kalian salah, dia baik, sangat baik malah, tapi
karena kebaikkannya itulah, maka ayah sering mengabaikanku dan lebih fokus pada
keluarga barunya.
Aku terus berlari, tujuanku kini ingin
bertemu dengan ibuku kandungku.
Hiks
hiks
Semilir angin menerbangkan rambutku. Aku
hanya bisa menangis di depan gundukan tanah ini. Kalau saja dulu aku bisa hidup
bersama ibuku, mungkin sekarang aku tidak merasa tersingkirkan seperti ini.
“Apa yang harus Rara lakukan Bu? Rara di
sini sendirian, kenapa kemarin ibu tidak mengajak Rara agar Rara bisa bersama
Ibu?” aku terus berkomunikasi dengan ibuku, berharap dia akan memelukku dan
berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Setelah cukup lama di sana, aku memutuskan
untuk pergi, walaupun aku tidak tau akan ke mana, tapi ya sudahlah, nanti akan
ku pikirkan.
Citttt
Baru saja aku keluar dari pintu pemakaman,
aku melihat sebuah mobil yang berjalan tidak tentu arah. Sepertinya
pengendaranya sedang mabuk atau mengentuk mungkin. Sudahlah yang penting aku
harus hati-hati. Ohhh tidak, tapi di tengah jalan itu, ada seorang kakek, ku
rasa dia tidak menyadari adanya mobil tersebut. Ohh ini gawat.
“Kek, awas kek!” aku berlari menghampiri
kakek tersebut, tidak ku pedulikan mobil itu, kini yang terpenting adalah menyelamatkan
kakek tersebut.
Dug...
awww
Lami berdua berhasil menyingkir dari
tengah jalan itu, walaupun kami harus jatuh seperti ini dan sepertinya lututnya
sedikit berdarah.
“Kakek baik-baik aja?” ku perhatikan kakek
ini, sepertinya dia baik-baik saja, walaupun sedikit terkejut. Ku lihat, kini
mobil itu merabrak dinding pemakaman dan banyak warga yang sudah menghampiri
mobil itu.
“Terimakasih nak, kamu sudah mau menolong
kakek, bahkan kamu hampir menjadi korban juga. Terimakasih nak”
“Iya sama-sama kek”
Kini aku dan kakek ada di warung pinggir
jalan karena kakek itu memaksaku untuk mengobati lukaku dulu, sebagai rasa
terimakasihnya.
“Kamu tahu tempat apa yang paling indah di
dunia?” tiba-tiba kakek itu bertanya padaku.
“Hmmmm... Hawaii, Bali mungkin?”
Kakek itu tersenyum pada ku “Ya,
tempat-tempat itu memang indah, tapi bukan itu nak. Tempat terindah itu adalah
tempat dimana kamu bisa tersenyum bersama dengan orang-orang yang kamu sayangi”
Belum sempat aku menjawab kakek itu
melanjutkan lagi “Memang terkadang sesuatu membuat kita menjauh, tapi apa kita
harus mendiamkan saja? Ketahuilah nak, tanpa mereka, kamu bukan siapa-siapa,
sekaya, seterkenal, sehebat apapun, hanya sepi yang nantinya kamu rasakan.
Selagi kamu bisa memeluk dan menyayangi orang-orang tersayangku, maka
lakukanlah, sebelum semua itu hanya menjadi penyesalan” dia tersenyum lagi
padaku.
“Tidak semua orang bisa merasakan
kesempatan kedua, Nak” lanjut kakek itu tiba-tiba.
Aku terus teriyang-iyang omongan kakek
tadi dan akhirnya kini aku memutuskan untuk pulang. Kakek itu benar, aku harus
membicarakan hal ini dengan orang tuaku dengan tenang.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam... Ehh non kok baru
pulang? Non tadi dicariin tuan dan nyonya loh. Mereka mau pergi ke luar kota Non,
soalnya Den Natan dan Den Rio juga dibawa Non, mau dinas katanya”
“Ohhh yaudah bi, tolong siapain makanan ya
bi”
“Siap Non”
Ya mungkin, masalah kepindahanku ke asrama
bisa dibahas nanti. Sambil menunggu makanan, aku nonton tv terlebih dahulu. Perhatikanku
kini pada sebuah berita tentang kecelakaan pesawat yang menuju ke Makasar.
“Astagfirullah Non, itu pesawat Tuan dan
Nyonya” aku terkaget dengan jerit pembantuku dan terlebih dengan pesawat yang
dinaiki oleh ayahku.
“Bibi serius, gak mungkin kan bi. Gak
mungkin ayah dan ibu naik pesawat itu hiks hiks” tanpa sadar air mataku
mengalir.
“Bibi yakin banget Non, tadi Ibu Non
sempet kasih tahu Bibi sebelum mereka berangkat. Yang sabar ya Non. Kita tunggu
kabar selanjutnya ya Non. Sekarang Non istirahat dulu aja ya” aku mengangguk
pasrah karena aku juga sudah merasa lelah sekali.
Aku dituntun oleh bik Sum menuju kamar
orang tuaku. Aku meminta untuk hari ini, aku ingin tidur di kamar orang tuaku.
Ketika di dalam kamar, aku tidak bisa
beristirahat, aku terus memikirkan orang tua, dan juga kedua adikku yang masih
kecil. Ya walaupun kami saudara beda ibu, tapi biar bagaimanapun mereka tetap
saudaraku kan.
Ku buka laci meja di samping ranjang ini, dulu
sering ku lihat, ayah meletakkan album foto keluarga kami di laci itu.
Sekarang, aku juga ingin melihat foto kebersamaan ku dengan keluargaku dulu.
Aku menangis melihat foto-foto kami dulu. Dulu ibu pergi meninggalkanku,
sekarang ayah juga. Pada hal aku belum sempat minta maaf pada nya.
“Hiks hiks hiks... Ayah” segera ku
letakkan kembali album foto ini di laci, tapi saat ingin menutup laci, aku
melihat sebuah surat yang ditujukan untuk ayahku. Meskipun ragu, akhirnya, aku
putuskan untuk membaca surat itu.
To
Anton
Mungkin
ketika kamu baca surat ini, aku sudah tidak sadarkan diri atau bahkan aku sudah
tidak ada di dunia ini. Anton, maaf karena kami lagi-lagi merepotkanmu. Maaf
karena kami, mungkin hidupmu kini akan berbeda. Aku tidak tahu lagi harus
meminta tolong pada siapa. Kamu tahu sendirikan, kita adalah anak yatim piatu,
kita tidak tahu siapa saudara kita, selain teman-teman kita di panti. Aku tahu,
ketika Mas Ibra dan aku kecelakaan, Mas Ibra sempat sadarkan diri dan ia menitipkan
bayi dalam kandunganku untuk kau jaga. Aku ucapkan terimakasih untuk itu. Saat
aku koma, kamu mau menjadi orang tua anakku. Bahkan, kamu juga mau menanggung
semua biaya rumah sakitku sampai aku sadar 10 tahun kemudian. Mungkin
permintaan tolongku ini benar-benar tidak tahu diri, aku mohon kau rawat Rara
ya. Aku rasa, aku sudah tidak dapat merawat Rara, setelah aku bangun dari koma,
dokter yang merawatku selama ini telah memberitahukan semuanya, ia juga memberitahuku
kalau terjadi pendarahan di otakku karena benturan saat kecelakaan itu. Aku
tahu, penyakit ini bisa kapanpun merenggut nyawaku dan mungkin kesadaranku juga
tidak lama lagi akan hilang. Di sisa-sisa kesadaranku, ku mohon Anton, tolong
rawat Rara. Tolong rawat dia selayaknya anakmu sendiri. Beritahu dia kalau dia
sudah dewasa dan beritahu dia, bahwa
kami selalu menyayangi dia. Maaf karena kami tidak bisa menemani dia. Terimakasih
Anton, sampai kapanpun, kami tidak akan melupakan semua kebaikanmu.
Anna
Saira
Hiks
hiks
Tanpa sadar air mataku telah mengalir
deras.
Jadi, aku bukan anak kandung ayah. Jadi,
selama ini orang tua kandungku telah meninggal dan selama ini, ayah Anton dan
ibu Lena yang sudah berbaik hati merawatku. Jadi, waktu itu, bukan ayah yang
meninggalkan ibu, melainkan karena memang aku bukan anaknya. Ibu juga meninggal
bukan karena depresi ditinggal ayah Anton, melainkan karena penyakit yang
dideritanya. Ya Allah, apa yang telah ku lakukan, aku selama ini sudah berbuat
salah pada orang-orang yang justru telah merawatku.
“Ayah Anton, Ibu Lena, maafkan Rara hiks
hiks” aku menangis sambil mendekap surat itu.
“Ayah, ibu kalian tidak boleh pergi. Rara
gak mau sendiri di sini” aku berlari ke luar rumah, tidak kupedulikan hujan
yang kini mengguyurku, aku hanya ingin bertemu dengan ayah Anton dan Ibu Lena,
aku tidak ingin kehilangan mereka.
“Non Rara, ya ampun Non. Jangan keluar
Non, hujan Non” tidak ku pedulikan teriakan Bik Sum. Aku harus ketempat mereka
dan meminta maaf. Aku terus berlari, meskipun kini kepalaku sudah sangat
pusing.
“Non Rara....” suara itu yang terakhir ku
dengar, sebelum semuanya menjadi gelap.
Perlahan ku buka mataku. Aku ada di mana?
Kenapa aku berada di sebuah taman “Ayah, Ibu, Natan, Rio, Bik Sum? Kalian
dimana?” aku berteriak memanggil nama mereka.
“Tidakkah tempat ini sangat indah?” sebuah
suara laki-laki dari arah belakangku mengagetkanku.
“Lohhh kakek? Kok kakek bisa ada di sini?”
aku melihat dia sedang duduk sambil melihat ke arah langit.
“Tidakkah tempat ini sangat indah?” dia
menanyakan hal yang sama. Mau tidak mau aku melihat ke sekeliling ku. Taman ini
ditumbuhi oleh banyak bunga-bungan indah dengan warna yang beraneka ragam,
langit yang cerah, semilir angin yang sejuk dan hamparan pemandangan hijau yang
menyejukkan mata.
“Kamu mau tinggal di sini?” belum sempat
aku memberi respon, kakek ini sudah bertanya lagi.
“Tidak mau, aku ingin bertemu ayah, ibuku,
dan semua keluargaku”
“Kenapa? Kenapa kamu tidak mau tinggal di
sini? Bukankan tempat ini sangat indah dan bukankah kamu tidak senang tinggal
dengan orang tuamu?” aku terkejut karena dia mengetahui bahwa dulu aku tidak
menyukai orang tuaku.
“Apakah kau sekarang mengerti?” aku
menyerngitkan dahiku akan kata-katanya.
“Tempat yang paling indah bukan hanya
tempat dengan sejuta pesonanya, tapi tempat dimana kamu dapat tersenyum dengan orang-orang
yang kamu sayangi” dia menatapku sambil tersenyum.
Yahh, aku ingat kata-kata itu, kata-kata
yang diucapkannya saat aku menolongnya dari kecelakaan di pemakaman waktu itu.
“Ya, aku mengerti, tapi sepertinya semua
sudah terlambat, mereka sudah pergi kek. Mereka bahwa telah pergi, sebelum aku
sempat untuk meminta maaf. Andai saja waktu bisa berputar, aku pasti akan
memperbaiki semuanya kek” aku berkata sambil menahan tangisku.
“Benarkah kau akan memperbaiki semuanya?
Mungkin saja Tuhan berbaik hati mengabulkan semuanya” tanyanya sambil tersenyum
padaku.
“Pasti” jawabku dengan yakin. Dan
tiba-tiba saja aku merasa, seolah-olah ada sesuatu yang menarikku. Ku lihat
wajah kakek itu, dia hanya tersenyum padaku dan berkata sesuatu.
“Perbaikilah semuanya, Nak” itu kata
terakhirnya sebelum semua menjadi gelap.
“Rara... Rara. Kamu kenapa sayang?”
sayup-sayup aku mendengar suara orang memanggilku dan diiringi dengan guncangan
pada tubuhku. Perlahan ku buka mataku.
“Ibu!” sungguh hal yang mengejutkan, Ibu
Lena yang kini ada dihadapanku dan langsung saja ku peluk dirinya.
“Ibu, Ibu sama Ayah masih hidup? Ibu
baik-baik aja kan?”
Awww
Ibu menjentik dahiku dengan jarinya.
“Kamu doain ibu dan ayah kenap-napa ya?
Duhhh kamu aneh-aneh aja sih. Pasti kamu mimpi burukkan, sampe manggil-manggil
nama ibu dan ayah. Ayok cepetan bagun, terus shalat subuh” ujar ibuku panjang lebat, tapi sayang tidak
terlalu ku pedulikan karena aku sungguh takjub dengan semua ini.
“Loh kenapa kamu nangis?”
“Ibu maafin Rara ya, kalau selama ini Rara
udah jahat sama Ibu. Maaf Bu, pokoknya Ibu gak boleh tinggalin Rara sendiri” langsung
saja ku peluk lagi dirinya. Ku lihat dirinya tersenyum padaku. Senyum yang
sangat tulus.
Sesudah melaksanakan shalat subuh dan
mengucapkan banyak terimakasih pada Allah, aku segera turun ke bawah dan ku
lihat ayahku sedang membaca koran, ibu sedang memasak sarapan kami. Segera saja
ku hampiri ayahku dan ku peluk dia.
“Duhh, ini kenapa anak gadis ayah pagi-pagi
udah manja aja ya?” kata ayahku sambil melirik padaku.
“Ayah, maafin Rara ya, kalau selama ini
Rara udah ngerepotin ayah, bikin kesel ayah. Pokoknya maafin Rara ya yah?”
ujarku sambil mempererat pelukanku.
“Iya iya, tapi ini ayahnya dilepasin dulu
dong. Ayah gak bisa nafas nih”
“Hehe maaf ayah”
Akhirnya, pagi ini, aku dapat berkumpul
dengan keluargaku dengan perasaan bahagia, ada ayah, ibu, dan dua adik
laki-lakiku. Rasanya sudah lengkap dan untunglah semua itu hanya mimpi, ketika
ku tanyakan pada ayahku, apa dia akan mengirimkan aku ke asrama, ternyata itu
tidak akan dilakukannya. Dan ketika ku tanyakan tentang statusku yang
sebenarnya ayah dan ibu sempat kaget dan bertanya dari mana aku tahu, tapi
akhirnya mereka menceritakan kejadian sebenarnya, tapi walaupun demikian,
mereka tetap saja akan menyayangiku, meskipun aku bukanlah anak kandung mereka.
Ayah Anton juga menunjukan foto ayah dan ibu kandungku dan hal yang
mengejutkanku adalah foto ayahku. Wajahnya sangat mirip dengan kakek yang waktu
itu aku tolong, meskipun di foto ini, wajah ayahku terlihat lebih muda.
Siang harinya, aku, ayah, dan ibu
memutuskan untuk ke makan orang tua kandungku, ternyata makam ayah kandungku
berada di sebelah makan ibu kandungku. Setelah banyak bercerita dan berdoa
untuk kedua orang tuaku. Aku segera pergi dari pemakaman itu. Ketika di pintu
pemakaman, aku menengok lagi ke makan orang tuaku dan betapa terkejutnya aku,
aku melihat seperti ada bayangan ibu dan kakek itu, ahh bukan, tapi ayahku,
mereka tersenyum padaku. Sambil menahan tangis bahagia, aku tersenyum dan
melambaikan tangan pada mereka.
“Ayah, Ibu, aku sayang pada kalian. Kalian
harus baik-baik ya di sana, tunggu Rara. Kita pasti akan berkumpul lagi” ujarku
pelan sebelum bayangan mereka menghilang.
“Ayuk Ra, kita pulang” ajak ayahku sambil
mengulurkan tangannya. Ku sambut uluran tangan tersebut dan tak lupa, ku
kandeng juga tangan ibuku.
Ya
Allah terimakasih karena Engkau telah memberikan tempat terindah untukku pulang
Cerita ini hanya fiksi dan murni hasil
imajinasi penulis dan ditujukan untuk memenuhi tantangan menulis KOMBUN dengan
tema “tempat terindah”. Silahkan kritik dan sarannya karena penulis masihlah
pemuda dalam dunia karya fiksi ini.
Mohon bijak dalam membaca ya dan mohon
untuk tidak memplagiatkan segala tulisan yang terdapat di blog ini. Terimakasih :)