RESENSI FILM FREEDOM WRITERS
Judul :
Freedom Writers
Sutradara : Richard LaGravenese
Produksi :
Paramount Pictures
Tahun :
2007
Berdasarkan : The Freedom Writers Diary
Genre :
Drama
Durasi :
122 Menit
Pemain
- Hilary Swank sebagai Erin Gruwell
- Scott Glenn sebagai Steve Gruwell
- Imelda Staunton sebagaiMargaret Campbell
- April Lee Hernandez sebagai Eva Benitez
- Mario sebagai Andre Bryant
- Jaclyn Ngan sebagai Sindy Ngor
- Hunter Parrish sebagai Ben Daniels
- Deance Wyatt sebagai Jamal Hill
- Antonio Garcia sebagai Miguel
Freedom
Writers merupakan film bergendre drama yang diangkat dari
kisah nyata berdasarkan buku The Freedom Writers Diary karya Erin Gruwell yang
ditulis oleh murid-murid yang berada di ruang 203 Woodrow Wilson H.S Long
Beach, California, Amerika Serikat.. Film
yang disutradarai oleh Richard LaGravenese ini bercerita tentang perjuangan seorang
guru di wilayah New Port Beach, Amerika Serikat untuk memunculkan motivasi dan
mengubah paradigma siswa di kelasnya yang keliru mengenai kehidupan antarras. Dikisahkan, Erin Gruwell yang merupakan seorang guru baru yang
memiliki idealisme tinggi mengenai pendidikan yang mampu membebaskan anak dari ‘peperangan’ di
masyarakat yang masih menganut paham rasis yang tinggi datang ke Woodrow Wilson
High School sebagai guru Bahasa Inggris untuk kelas khusus anak-anak korban
perkelahian antargeng rasial.
“… kau membela
anak-anak di ruang sidang, pertempuran sudah berakhir. Aku pikir perkelahian
yang sebenarnya harus terjadi di ruang kelas.”
Erin Gruwell mempunyai
impian yang indah tentang murid-murid yang akan dididiknya kelak, ia akan
memberikan pelayanan pendidikan yang layak bagi murid-murid karena menurutnya
tindakan tepat untuk menolong anak-anak bukanlah dengan membela mereka di ruang
sidang, tetapi membantu mereka melalui pendidikan untuk melawan kebodohan.
Namun, pada hari pertamanya mengajar, ia menyadari bahwa impiannya tidak akan mudah
terwujud, dimana murid-murid di ruang 203 sangat sensitif terhadap perkelahian
antargeng rasial. Kesalahpahaman kecil saja mampu membuat mereka berkelahi, bahkan
mereka duduk berkelompok berdasarkan ras nya masing-masing dan tidak mau duduk di
kelompok ras yang berbeda. Belum lagi, rendahnya dukungan baik berupa motivasi
maupun sarpras dari pihak sekolah terhadap murid-murid di kelas 203. Hal ini
dikarenakan pihak sekolah beranggapan pemberian pelayanan yang layak bagi
murid-murid yang bahkan tidak mau berada di sekolah ini hanya akan sia-sia dan
hanya merusak sarpras sekolah saja.
Menyadari hal tersebut, Erin Gruwell melakukan
berbagai cara agar dapat menyajikan pelajaran agar dapat membantu mereka untuk
memperoleh pendidikan yang layak, berbagai cara mengajar yang unik pun mulai
diterapkannya, mulai dari memberikan mereka buku The Diary of Anna Frank, menulis buku harian, belajar menggunakan
musik melalui penyanyi terkenal yang disukai murid-murid di kelasnya, menyajak
mereka mengujungi museum korban perang antarras, mendatangkan dan melakukan
diskusi umum antara murid-muridnya dengan saksi hidup korban perang antarras,
dan bahkan mendatangkan orang yang menulis kisah hidup Anna Frank untuk
berdiskusi dengan murid-muridnya.
Namun, semua itu tentu
tidaklah terwujud dengan perjuangan yang mudah, Erin Gruwellbahkan harus
berkeja sambilan di beberapa tempat, seperti menjual bra di toko, bekerja di hotel dan perjuangan yang paling besar
adalah dia harus rela diceraikan suaminya karena suaminya beranggapan bahwa dia
kurang diperhatikan oleh istrinya dan dia merasa seakan-akan dialah istrinya
karena dia lebih sering berada di rumah dibandingkan dengan Erin Gruwell. Selain Erin Gruwell, murid-murid
di 203 ini pun melakukan perjuangan yang besar, bagaimana terjadinya
pertemburan batin, apakah harus memilih kebenaran dengan resiko diacuhkan dari
kelompoknya dan bahkan dapat mengancam nyawanya sendiri atau memilih
kelompoknya, namun mengabaikan pihak-pihak yang tersakiti. Bagaimana murid-murid
di ruang 203 belajar untuk mengenal teman-teman sekelasnya dan menghargai
mereka sebagai ‘manusia’ yang sama hak dan kewajibannya. Hingga pada akhirnya,
murid-murid di ruang 203 menjadi keluarga.
“…Aku menatap langit menunggu
sesuatu terjadi. Ibuku sudah tak punya keluarga untuk diminta tolong, tak punya
uang pemasukan. Mengapa repot-repot datang ke sekolah atau mendapatkan nilai
bagus kalau kau tunawisma? Bus berhenti di depan sekolah, rasanya aku ingin
muntah. Aku kenakan pakaian dari tahun kemarin, sepatu lama, tak ada potongan
rambut baru. Aku terus berpikir aku akan ditertawakan. Sebaliknya, aku disambut
oleh beberapa teman yang berada di kelas Bahasa Inggrisku tahun lalu. Dan itu
kenyataanku Mrs. Gruwell guru Bahasa Inggrisku dari tahun lalu, sosok satu-satunya
yang membuatku berpikir tentang harapan. Berbicara dengan teman-teman tentang
kelas Bahasa Inggris tahun kemarin dan tour kami aku mulai merasa lebih nyaman.
Kuterima jadwalku dan guru pertamaku adalah Ibu Gruwell di ruang 203. Aku melangkah
ke dalam ruang dan merasa seoalah-olah semua masalah dalam hidup tak begitu
penting lagi. Aku pulang ke rumah.”
“Aku selalu merasa
sendirian, diremehkan, dan terbuang di lingkungan rumahku sendiri, tapi saat
berada di kelas Bahasa Inggris bersama Bu Erin, aku merasa berada di dalam
rumah bersama keluargaku sendiri. Terima kasih Bu Erin”
Film ini cukup baik
untuk ditonton oleh dewasa dan remaja yang telah berusia 17 tahun tentunya. Kenapa
harus yang sudah 17 tahun? Karena pada beberapa scene akan tergambar adengan kekerasan seperti perkelahian
antarsiswa dan antargeng, menggunakan sentaja api untuk mengancam orang bahkan
membunuh orang. Pada film ini, adegan kekerasannya cukup terlihat jelas dan
terdapat pada scene-scene awal, walaupun adegannya tidaklah
begitu parah/dramatis. Selain itu, terdapat pula adegan yang berbeda dengan
kultur ketimuran kita, yaitu adegan ciuman atau berpelukan antara lawan jenis
yang kurang baik bila ditonton oleh anak-anak. Film ini juga recommended untuk calon guru atau bahkan
guru senior karena film ini adalah menggambarkan dengan baik bagaimana
perjuangan guru yang tak pernah lelah untuk memotivasi siswa, bahkan hingga
sang guru harus mengorbankan pernikahannya karena sang suami merasa istrinya
kurang perhatian kepadanya. Dari film ini juga kita akan merasa tersentil
karena kita sering kali mengganggap bahwa kita adalah orang yang paling benar
dan kelompok kita adalah yang terbaik daripada kelompok lain yang sejenis,
padahal kita maupun kelompok kita ada karena kita saling melengkapi dan
seharusnya saling melindungi untuk menciptakan peradaban yang lebih baik tanpa
harus membedakan kita dari kelompok, suku, warna kulit, latar belakang keluarga
mana pun karena kita semua sama di mata pendidikan dan bahkan dunia. Selain
itu, film ini juga dapat menumbuhkan motivasi
atau membangkitkan lagi idealisme sebagai tenaga pendidik agar lebih profesional
lagi dan selayaknya memandang bahwa setiap individu itu unik, tak ada yang
bodoh ataupun nakal, lingkunganlah dan keluargalah yang banyak mempengaruhinya.
Oleh karena itu, guru selayaknya ‘lentera dalam kelas’ harus mempu membimbing
mereka ke arah yang lebih baik. Namun, yang paling terpenting dari film ini
adalah bagaimana seorang guru mampu ‘menyentuh hati’ para muridnya, sehingga
mereka mampu merasa bahwa mereka diakui dan di kelas ini lah mereka mempunyai
keluarga.
Kata-kata yang cukup menyentil manusia
akan apa yang ditinggalkannya kelak di dunia ini dan telah disampaikan dengan
dalam film ini, yaitu:
“Kau ingin tahu
bagaimana jika kau mati? Kau akan membusuk di dalam tanah sementara orang lain
akan tetap hidup dan mereka akan melupakanmu. Jika kau membusuk dalam tanah
apakah penting lagi diakui sebagai seorang gangster sejati? Jika kau mati,
tidak akan ada orang yang akan mengingatmu karena yang kau tinggalkan di dunia
ini hanyalah kebencian berupa karikatur rasis seperti ini!”
Star
rating yang saya berikan untuk film ini adalah :
--------------------------------------------------
"Tulisan ini dipersembahkan
untuk memenuhi tantangan Holiday Challenge part 1 yang bertemakan menulis
resensi film"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar