UNFORGETABBLE LOVE
Aku masih setia
berdiri di balik dinding kaca ini. menatap kerlap kerlip lampu kendaraan yang
memadati kemacetan kota Jakarta ini, ditambah butiran air yang berlomba-lomba membasahi
area kering di lahan aspal ini.
Suasana ini
mengingatkanku akan kejadian beberapa tahun lalu.
Brakkkk
“Bunda.. maksud Bunda
apa sih?” Tanyaku marah, setelah
menggebrak meja dihadapah aku dan Bunda. Sampai detik ini, aku masih tidak
mengerti dengan keputusan Bundah melarangku melanjutkan kuliah di Amerika.
“Perlu Bunda
ulangi sekali lagi? Kalau kamu mau kuliah, kuliah di Indonesia saja, di sini
juga banyak universitas bagus yang Bunda yakin mampu kamu masuki” ujuar Bunda
dengan intonasi suara yang sudah naik satu oktaf dari biasanya dia bicara,
matanya juga sudah mulai berkaca-kaca.
“Tapi Bunda,
harusnya ada alasan yang jelas dong? Bunda kan tau, impian Albar sejak dulu,
Albar bisa kuliah di Negara adi daya itu, Bun!” bentakku, aku sudah benar-benar
kehilangan kesabaran. Baru kali ini, aku begitu marah dengan Bundaku, bukan
maksud ingin durhaka kepada Bundaku, tapi aku benar-benar kecewa. Aku tahu,
semenjak ayah meninggal 1 tahun lalu karena penyakit paru-parunya, Bundalah
yang bekerja keras untuk membiayai sekolahku dan tiga orang adikku yang masih berada
di jenjang sekolah dasar. Tapi, akupun tidak akan meminta biaya selama aku
kuliah di sana, tidak peduli aku harus mejadi kuli di sana, yang jelas aku
pasti mampu membiayai hidupku di sana.
“Suatu saat kamu
akan mengerti nak, apapun yang terjadi Bunda tidak mengizinkan kamu kuliah di
luar negeri, tidak ada bantahan” tanganku terkepal kuat, hingga kuk jariku
memutih dan Bunda dengan teganya pergi begitu saja meninggalkanku.
Setelah pertenggaran
itu, aku jarang bicara dengan Bunda, aku lebih memilih aktif di luar rumah,
entah itu ikut berbagai ekskul atau bahkan sekedar nongkrong saja.
Tok tok tok
“Kak, Afni mau
curhat nih sama kakak” kepala adikku menyembul dari balik pintu kamarku. Afni adalah adik pertamaku, usianya baru 12
tahun.
“Kak, kok Bunda
jadi aneh ya? Masa sekarang Bunda gak pernah masak, gak mau nyuciin baju kita,
pokoknya gak kaya dulu lagi kak” cerita adikku dengan wajah letihnya. Pantas saja, masakan di rumah ini
kadang-kadang rasanya gak jelas, jadi selama ini yang masak itu Afni. Memang semenjak
kejadian pertengkaran itu, aku melakukan semuanya sendiri dan tidak peduli
dengan apa yang terjadi di rumah. Toh, semuanya sama saja.
“Kakak juga gak
tahu dek, kakak juga gak ngerti dengan jalan pikiran Bunda, dia jadi berubah,
dia jadi orang yang gak kita kenal, kita sabar aja, kakak pasti bantuin kalian
kok, nanti kakak coba bicara sama Bunda” ya, aku harus bicara sama Bunda. Bunda
gak bisa seenaknya gitu dong sama kita anak-anaknya.
Brugh…
“Pergi kamu dari
rumah ini, bawa juga adik-adikmu, silahkan kamu hidupi dirimu dan adik-adikmu,
biar kamu tahu bagaimana susahnya menghidupi 4 orang anak yang bahkan tidak
tahu terimakasih” tubuhkun jatuh ke lantai teras rumahku, tapi tidak sesakit
hatiku yang kini menatap nanar pada orang yang dulu sering membacakan dongeng
padaku, yang sering mengelus punggungku saat aku merasa lelah. Lalu siapa dia,
siapa orang ini yang bediri marah dihadapanku saat aku berkata bahwa dia telah
begitu tidak adil pada kami. Dia malah mengusir aku dan adikku. Dia bahkan
bukan Bundaku lagi, dia bukan Bundaku. Baiklah, kalau dia mau kami pergi aku
akan pergi.
“hiks hiks
hiks.. Bunda maafin bang Albar, maafin kita Bunda, jangan usir kita, nanti kita
hidup di mana Bunda?” rengek adik-adikku, sambil menangis dan berlutut memohon
maaf pada Bundaku.
“ckk…. Afni,
Anwar, Adel sudah cukup, untuk apa kalian mengemis maaf pada orang yang bahkan
tidak peduli pada kita, sebaiknya kita segera berkemas dan pergi dari rumah
ini, kita tunjukan pada DIA, kalau kita bisa hidup tanpa DIA” bentakku marah
dengan menekankan pada kata dia dan menyeret adikku untuk segera berkemas. Yahh,
mulai sekarang tidak perlu memanggilnya Bunda lagi, dia bukan lagi seorang ibu,
mana ada seorang ibu yang tega membuang anaknya sendiri, semarah apapun dia. Jelas
dia adalah orang asing yang entah bagaimana sekarang sedang mendiami tubuh
perempuan yang dulu sangat kami cintai ini.
Huffff…
Kuhelan nafas
lelah, masih memandang kemacetan ibu kota padahal jam sudah menunjukan pukul 9
malam. Mengingat kejadian itu, memang masih membuatku muak dan lelah. Tidak habis
pikir, itulah yang selalu terlintas di pikiranku setiap mengingat kejadian itu.
Bagaimana mungkin seorang ibu tega mengusir anak-anaknya dan bahkan sampai kini
tidak ada niatan dari dia untuk mencari anak-anaknya.
Semenjak pengusiran
itu, aku dan adikku tinggal di rumah sederhana milik Bapak Bagus, seorang
dermawan yang entah bagaimana saat malam itu hampir menabrak kami dan dengan
baiknya dia menawarkan kami untuk tinggal di rumah sederhana yang dulu
ditempatinya sewaktu dia bujangan, dia bilang hitung-hitung ada yang merawat
rumahnya sewaktu aku menceritakan pengusiran yang dilakukan oleh Bundaku.
Meskipun,
sekarang kami hidup sendiri, tapi entah kenapa selalu ada saja keberuntungan
yang menyelimuti kami, seperti adik-adikku yang mendapatkan beasiswa dari
sekolahnya sampai mereka lulus dan aku yang bekerja sebagai tenaga pengajar di
sebuah sekolah internasional, tentu saja dengan bantuan dari Pak Bagus dank
arena otakku yang dapat dikatakan lumayan pintar ini. bukannya sombong, tapi
akau memang selalu meraih peringkat satu sejak SD hingga lulu SMA. Aku juga
kuliah di salah satu universitas terbaik di negeri ini, bukanlah beruntung
hidupku.
Kini, kehidupan
kami bahkan jauh lebih baik, aku yang telah menjadi seorang arsitek handal,
tentunya telah lebih dari cukup untuk membiayai kehidupan kami. Aku bahkan
telah membangun rumah impian ku dulu yang sering ku ceritakan pada Ayah dan Bundaku
hanya dalam waktu satu tahun setelah aku berkarir.
“teringat ibu ya
kak?” suara Afni tiba-tiba menginterupsi lamunanku malam ini. Semenjak kami
berpisah dari Ibu, Afni memang banyak berubah, dia lebih dewasa dalam menyikapi
banyak hal, mungkin karena dia tidak mau membebaniku dan adik-adiknya.
“kamu kok belum
tidur? Bukannya besok hari pertama kuliah kamu ya?” tanyaku untuk mengalihkan
pembicaraan, aku memang sedikit malas membicarakan masalah Bunda karena hanya
membangkitkan luka lama.
“belum ngantuk
kak. Kak, keadaan Bunda gimana ya? Meskipun begitu, dia adalah Bunda kita kan,
orang yang sudah melahirkan kita”
“tidak usah
memikirkan orang yang bahkan tidak memikirkanmu” jawabku dingin.
“hemmm, mungkin Bunda
punya alasan sendiri kak kenapa waktu itu dia mengusir kita. Afni cuma mau tahu
gimana Bunda sekarang, dia hidup sendirian, kalau dia kenapa-kenapa gimana? Siapa
yang akan bantu dia”
“itu pilihan dia
sendiri waktu dia memutuskan untuk mengusir kita. Lebih baik kamu pergi tidur
dan tidak usah memikirkan hal yang tidak-tidak” jawabku mulai kurang nyaman
dengan pembicaraan ini. walaupun dengan wajah murungnya Afni tetap mematuhi
perkataanku.
Ting tong ting
tong
“Assalamua’laikum”
“Aa’alaikumsalam…
wah om Bagus, kok datang gak bilang-bilang, kan gak perlu repot-repot ke sini,
nanti biar Albar aja yang ke tempat Om Bagus” ujarku antusias dan
mempersilahkannya masuk.
“Gak masalah
kok, sekalian om mau liat keadaan kalian gimana. Ohhh ya, mana adik-adikmu? Kok
gak kelihatan” tanya om Bagus sambil celingukan ke ke sana ke mari.
“ada kok om, kan
ini hari minggu jadi lagi pada dirumah, yah males-malesan lah. mau aku
panggilkan?”
“iya boleh,
soalnya ada hal penting yang mau om sampaikan ke kalian” jawab om Bagus dengan
wajah serius.
Setelah kami
semua berkumpul di ruang keluarga, om Bagus meminta aku untuk menyetel sebuah
video yang telah dia masukan dalam sebuah CD. Sebenarnya, om Bagus mau bicara
atau ngajak kita nonton sih. Beberapa detik kemudian, layar TV ku menampilkan
wajah seorang wanita yang masih terlihat cantik meskipun di usianya yang sudah
tidak muda lagi dan wajah itu, merupakan wajah dari orang yang begitu aku
rindukan belakangan ini. Ya, dia wajah Bundaku.
“hai, apaka kabar sayang? Anak-anak Bunda yang
ganteng dan cantik. Pasti sekarang kalian sudah besar ya. Hmmm, mungkin
sekarang Albar sudah jadi arsitek hebat seperti impian kamu kan? Afni juga sudah
masuk kuliah ya? Anwar dan Adel pasti sudah masuk SMA dan SMP. Selamat ya untuk
kalian semua. Bunda kangen sama kalian. Banyak hal yang ingin Bunda katakana dan
apapun yang nantinya kalian denger, kalian harus janji sama Bunda kalau kalian
akan selalu hidup dengan baik, bahagia dan akan selalu saling menjaga. Janji ya?”
Wajah Bundaku terlihat sedih, tapi
dia tetap memaksakan senyum manisnya, senyum hangat yang sangat aku rindukan.
“sebelumnya, Buda mau minta maaf untuk semua
kelakuan Bunda yang telah kasar pada kalian. Pasti kalian bertanya-tanyakan
kenapa Bunda jadi seperti itu? Seperti yang selalu Bunda bilang, Bunda punya
alasan dan sekarang waktunya Bunda kasih tahu apa alasannya.” Aku melihat Bunda menarik nafas dalam dan matanya
mulai berkaca-kaca.
“Bunda sakit kanker rahim stadium akhir nak, umur Bunda
gak akan lama lagi. Bunda gak bisa liat kalian bahagia, Bunda gak bisa nemenin
kalian lagi pas kalian sedih, Bunda gak bisa ketawa bareng kalian lagi. Maafin Bunda
yang merahasiakan semua ini dari kalian, Bunda melakukan ini supaya kalian bisa
hidup tanpa Bunda. Kalian bisa saling menjaga, bisa merawat diri kalian dengan
memasak, mencuci, kalian bisa mencari uang sendiri karena Bunda nantinya tidak
akan bisa melakukan itu semua lagi untuk kalian lagi, kalian harus bisa
melakukannya sendiri karena kalau bukan diri kalian sendiri siapa yang bisa
menolong diri kalian?. Maafkan Bunda karena harus melakukan semua ini, dengan
begini kalian pasti akan terbiasa hidup tanpa Bundakan dan saat Bunda harus
pergi Bunda yakin kalian gak akan perlu melihat kesakitan Bunda dan kalian gak
akan terluka karena kalian membenci Bunda. Tapi, Bunda gak akan benci kalian
dan Bunda juga akan selalu sayang dan maafin kalian. Kalian gak perlu khawatir
dengan hidup kalian nantinya, ada om Bagus yang akan membantu kalian. Maafkan Bundamu
ini nak, maafkan keegoisan Bunda, maafkan Bunda yang harus meninggalkan kalian,
tapi cinta Bunda akan selalu mengertai kalian dan Bunda harap tidak akan kalian
lupakan. Hiduplah dengan baik dan raihlah keahagiaan kalian karena Bunda akan
bahagia saat kalian bahagia.”
Video itu telah
berakhir dan aku masih diam membisu, bingung dengan semua ini, sedangkan
adik-adikku telah menangis entah sejak kapan aku tak memperhatikannya, yang
jelas aku butuh penjelasan untuk ini semua. Yah, pasti orang di depanku ini
bisa menjelaskannya.
“Om akan
menjelaskan semuanya” jawabnya cepat sebelum aku bertanya dan aku hanya
menganggukan kepala sebagai tanda persetujuan.
“Enam tahun
lalu, Bunda kalian adalah pasienku, dia terkena kanker rahim stadium akhir dan
ketika mendengar kabar itu, dia menangis, ku pikir dia menangis karena frustasi
setelah mengetahui penyakitnya, tetapi dia menangis karena dia memikirkan
bagaimana nasib kalian kelak. Satu bulan kemudian, aku terkejut dengan
penolakan kemoterapi, Bunda kalian justru menawarkan sesuatu yang gila kepadaku”
jeda om Bagus sejenak, sambil memijat pelipisnya.
“Bunda kalian
menawarkan ginjalnya untuk istriku yang sedang membutuhkan cangkok ginjal dan
sebagai imbalannya aku harus menjaga kalian dengan baik. Semua pertemuan kita,
itu semua telah direncanakan oleh Bunda kalian. Dia bahkan, mengikuti kalian
saat kejadian pertama kita bertemu. Dia juga sering diam-diam memperhatikan
kalian, menanyakan kabar kalian padaku. Bunda kalian sungguh luar biasa, dia
menahan rasa sakitnya seorang diri, dia kesakitan dan meninggal dalam
kesendirian. Itu semua dia lakukan demi kalian, dia tidak mau kalian membanting
tulang demi membiayai pengobatan dirinya, dia tidak mau kalian menangisi
dirinya, dna dia juga tidak mau kalian melihat bagaimana menderitanya dia. Asal
kalian tahu, di saat-saat terakhirnya pun, dia masih menanyakan kabar kalian
dan apakah kalian hidup bagaia. Ohhh ya, dan kalian tahu? Hadiah ulang tahun
yang kalian terima selama 6 tahun ini, sebenarnya bukan dari om, tapi dari Bunda
kalian, dia ingin kalian selalu berada di sisi kalian, meskipun itu hanya
melalui benda-benda yang ada di sekitar kalian. Maafkan om yang baru bisa
menyampaikan ini sekarang, karena memang ini pesan dari Bunda kalian” akhir
cerita om Bagus dan dia sedikit menundukan kepalanya, menandakan penyesalannya.
Bagai tersambar
petir, rasanya tubuhku begitu lemas dan tanpa sadar air mataku telah menetes
dengan derasnya. “Bunda…. Bunda… maafin Albar Bunda, maaf” ujar ku lemah. Bagaimana
mungkin aku sebagai anaknya tidak mengetahui semua penderitaan Bunda dan justru
aku menutup mata dan malah menganggap Bunda jahat dan berniat melupakannya.
“Om dimana makam
Bunda? kita harus minta maaf om” tanya Afni dengan mata yang tidak lelahnya
menitikkan air mata.
“Besok om akan
tunjukan makan Bunda kalian, dan sekarang sebaiknya kalian tenangkan diri
kalian dulu. Om permisi pergi dulu ya.” Pamit om Bagus.
Ku letakkan
setangkai lili putih kesukaan Bunda, sudah setahun semenjak terungkapnya perilaku
Bunda ketika itu dan sampai detik ini pun aku masih merasakan semua ini
bagaikan mimpi saja, semuanya terasa begitu indah tapi juga menyakitkan. Indah karena
bisa mencapai apa yang kau inginka, tapi menyakitkan saat harus dibayar dengan
perginya orang yang kau sayangi.
Meskipun begitu,
aku tahu kalau Bunda akan selalu menemani kami dan dia akan selalu melihat kami
dari tempatnya. Seperti yang selalu Bunda katakan, berikan yang terbaik dalam
hidupmu karena kamu tidak akan tahu kapan maut akan mengambil semua waktu dan
ruang yang kau miliki.
------------------------------------
" Tulisan ini dipersembahkan untuk memperingati hari ibu dan diikutsertakan dalam lomba menulis cerpen bertemakan kasih ibu bukan sekedar lagu"
sedih banget kaa
BalasHapusAlhamdulillah, klu bisa dpt feelnya ^^
HapusMaasya Allah.. Keren kak..
BalasHapusTerimakasih ya. smoga kedepannya bisa lebh baik lg ^^
Hapus