Sabtu, 30 April 2016

Tips dan Trik Mengajarkan Penjumlahan untuk Siswa Kelas Rendah SD



CARA MENYAJARKAN PENJUMLAHAN PADA SISWA SEKOLAH DASAR

Matematika merupakan salah satu pelajaran yang cukup dianggap sulit oleh semua orang, tidak terkecuali untuk siswa-siswa SD. Salah satu sub materi matematika yang sering kali salah dalam pengajarannya adalah mengenai penjumlahan. Perlu diketahui bahwa menjumlah artinya menggabungkan minimal dua kelompok/aspek. Sering kali, ketika di sekolah atau dalam proses pembelajarannya, siswa hanya diarahkan untuk dapat menjawab secara tepat dan pengajar hanya berorientasi pada hasilnya saja, tanpa mengajarkan juga bagaimana suatu hasil bisa diperoleh seperti itu. Untuk itu, pada artikel kali ini akan disampaikan bagaimana mengajarkan penjumlahan untuk siswa kelas rendah SD. Berikut ini merupakan tips dan trik mengajarkan penjumlahan untuk siswa kelas rendah SD:
  1. Guru membacakan soal penjumlahan secara menyeluruh
  2. Kemudian, guru meminta siswa untuk mengikuti guru membaca soal
  3. Setelah itu, guru akan bertanya kepada siswa mengenai soal. Contohnya:
    soal:
    Andi memiliki 2 permen. Lalu, ayah memberikan 3 permen kepada Andi. Berpakah jumlah permen yang dimiliki oleh Andi sekarang?
    pertanyaan guru:
a.       Siapa yang mempunyai permen?
Jawaban : Andi
b.      Berapa permen yang dimiliki Andi sebelum ayah memberikan permen lagi pada Andi?
jawaban : 2
c.       Berapakah permen yang diberikan ayah pada Andi?
jawaban : 3
  1. Lalu, guru menuliskan kalimat matematikanya
2 + 3 =
  1. Kemudian, guru menggambarkan bentuk permen di papan tulis sebanyak permen andi sebelum ditambah dari ayah dan permen yang diberikan ayah pada Andi
    2 + 3 =
                           
  1. Setelah itu, guru menunjukan bentuk asli permennya sebanyak permen andi sebelum ditambah dari ayah dan permen yang diberikan ayah pada Andi
2 + 3 =
  1. Lalu, siswa diminta untuk menghitung permen yang ditunjukan oleh guru
    2 + 3 =
                             
  1. Guru menyelesaikan kalimat matematika bersama-sama dengan siswa
2 + 3 = 



2 + 3 = 5


 _____________________________________________________________________________
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan dari KOMBUN untuk bulan April ini dengan tema menulis tips dan triks.

Sabtu, 26 Maret 2016

Tak Seindah Dunia



Tak Seindah Dunia
By Euis Latifah


“Tempat yang paling indah adalah tempat dimana kita bisa tersenyum bersama dengan orang-orang yang kita cintai”

Brak
Terdengar suara gebrakan meja dari arah ruang keluarga.

“Yah, Rara gak mau sekolah asrama. Kenapa sih Ayah kekeh sekolahin Rara di sana? Ayah udah gak mau lagi ngurus Rara? Ohhh, atau Ayah mau singkirin Rara sama kaya Ayah singkirin Ibu karena sekarang Ayah udah punya keluarga baru” tunjukku pada perempuan yang duduk di sebelah ayahku.

Plak
“Jangan kurang ajar kamu. Jaga omongan kamu itu!” bentak ayahku dan diiringin dengan tamparannya.

Tidak terima dengan apa yang ayahk lakukan, aku segera berlalari keluar rumah. Bukan, bukan tamparannya yang sangat sakit, tapi hatiku yang lebih sakit. Ayahku 10 tahun yang lalu menikah dengan wanita yang sekarang jadi ibu tiriku dan dia meninggalkan ibuku begitu saja yang sedang koma, hingga ibuku meninggal 5 tahun yang lalu. Kini usiaku sudah 15 tahun, dan ayahku ingin menyingkirkan aku dari rumahnya. Kalau kalin sangka ibu tiriku itu jahat, kalian salah, dia baik, sangat baik malah, tapi karena kebaikkannya itulah, maka ayah sering mengabaikanku dan lebih fokus pada keluarga barunya.

Aku terus berlari, tujuanku kini ingin bertemu dengan ibuku kandungku.

Hiks hiks
Semilir angin menerbangkan rambutku. Aku hanya bisa menangis di depan gundukan tanah ini. Kalau saja dulu aku bisa hidup bersama ibuku, mungkin sekarang aku tidak merasa tersingkirkan seperti ini.
“Apa yang harus Rara lakukan Bu? Rara di sini sendirian, kenapa kemarin ibu tidak mengajak Rara agar Rara bisa bersama Ibu?” aku terus berkomunikasi dengan ibuku, berharap dia akan memelukku dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Setelah cukup lama di sana, aku memutuskan untuk pergi, walaupun aku tidak tau akan ke mana, tapi ya sudahlah, nanti akan ku pikirkan.

Citttt
Baru saja aku keluar dari pintu pemakaman, aku melihat sebuah mobil yang berjalan tidak tentu arah. Sepertinya pengendaranya sedang mabuk atau mengentuk mungkin. Sudahlah yang penting aku harus hati-hati. Ohhh tidak, tapi di tengah jalan itu, ada seorang kakek, ku rasa dia tidak menyadari adanya mobil tersebut. Ohh ini gawat.

“Kek, awas kek!” aku berlari menghampiri kakek tersebut, tidak ku pedulikan mobil itu, kini yang terpenting adalah menyelamatkan kakek tersebut.

Dug... awww
Lami berdua berhasil menyingkir dari tengah jalan itu, walaupun kami harus jatuh seperti ini dan sepertinya lututnya sedikit berdarah.
“Kakek baik-baik aja?” ku perhatikan kakek ini, sepertinya dia baik-baik saja, walaupun sedikit terkejut. Ku lihat, kini mobil itu merabrak dinding pemakaman dan banyak warga yang sudah menghampiri mobil itu.

“Terimakasih nak, kamu sudah mau menolong kakek, bahkan kamu hampir menjadi korban juga. Terimakasih nak”
“Iya sama-sama kek”

Kini aku dan kakek ada di warung pinggir jalan karena kakek itu memaksaku untuk mengobati lukaku dulu, sebagai rasa terimakasihnya.

“Kamu tahu tempat apa yang paling indah di dunia?” tiba-tiba kakek itu bertanya padaku.
“Hmmmm... Hawaii, Bali mungkin?”
Kakek itu tersenyum pada ku “Ya, tempat-tempat itu memang indah, tapi bukan itu nak. Tempat terindah itu adalah tempat dimana kamu bisa tersenyum bersama dengan orang-orang yang kamu sayangi”
Belum sempat aku menjawab kakek itu melanjutkan lagi “Memang terkadang sesuatu membuat kita menjauh, tapi apa kita harus mendiamkan saja? Ketahuilah nak, tanpa mereka, kamu bukan siapa-siapa, sekaya, seterkenal, sehebat apapun, hanya sepi yang nantinya kamu rasakan. Selagi kamu bisa memeluk dan menyayangi orang-orang tersayangku, maka lakukanlah, sebelum semua itu hanya menjadi penyesalan” dia tersenyum lagi padaku.
“Tidak semua orang bisa merasakan kesempatan kedua, Nak” lanjut kakek itu tiba-tiba.

Aku terus teriyang-iyang omongan kakek tadi dan akhirnya kini aku memutuskan untuk pulang. Kakek itu benar, aku harus membicarakan hal ini dengan orang tuaku dengan tenang.

“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam... Ehh non kok baru pulang? Non tadi dicariin tuan dan nyonya loh. Mereka mau pergi ke luar kota Non, soalnya Den Natan dan Den Rio juga dibawa Non, mau dinas katanya”
“Ohhh yaudah bi, tolong siapain makanan ya bi”
“Siap Non”
Ya mungkin, masalah kepindahanku ke asrama bisa dibahas nanti. Sambil menunggu makanan, aku nonton tv terlebih dahulu. Perhatikanku kini pada sebuah berita tentang kecelakaan pesawat yang menuju ke Makasar.

“Astagfirullah Non, itu pesawat Tuan dan Nyonya” aku terkaget dengan jerit pembantuku dan terlebih dengan pesawat yang dinaiki oleh ayahku.
“Bibi serius, gak mungkin kan bi. Gak mungkin ayah dan ibu naik pesawat itu hiks hiks” tanpa sadar air mataku mengalir.
“Bibi yakin banget Non, tadi Ibu Non sempet kasih tahu Bibi sebelum mereka berangkat. Yang sabar ya Non. Kita tunggu kabar selanjutnya ya Non. Sekarang Non istirahat dulu aja ya” aku mengangguk pasrah karena aku juga sudah merasa lelah sekali.
Aku dituntun oleh bik Sum menuju kamar orang tuaku. Aku meminta untuk hari ini, aku ingin tidur di kamar orang tuaku.
Ketika di dalam kamar, aku tidak bisa beristirahat, aku terus memikirkan orang tua, dan juga kedua adikku yang masih kecil. Ya walaupun kami saudara beda ibu, tapi biar bagaimanapun mereka tetap saudaraku kan.
Ku buka laci meja di samping ranjang ini, dulu sering ku lihat, ayah meletakkan album foto keluarga kami di laci itu. Sekarang, aku juga ingin melihat foto kebersamaan ku dengan keluargaku dulu. Aku menangis melihat foto-foto kami dulu. Dulu ibu pergi meninggalkanku, sekarang ayah juga. Pada hal aku belum sempat minta maaf pada nya.

“Hiks hiks hiks... Ayah” segera ku letakkan kembali album foto ini di laci, tapi saat ingin menutup laci, aku melihat sebuah surat yang ditujukan untuk ayahku. Meskipun ragu, akhirnya, aku putuskan untuk membaca surat itu.

To Anton
Mungkin ketika kamu baca surat ini, aku sudah tidak sadarkan diri atau bahkan aku sudah tidak ada di dunia ini. Anton, maaf karena kami lagi-lagi merepotkanmu. Maaf karena kami, mungkin hidupmu kini akan berbeda. Aku tidak tahu lagi harus meminta tolong pada siapa. Kamu tahu sendirikan, kita adalah anak yatim piatu, kita tidak tahu siapa saudara kita, selain teman-teman kita di panti. Aku tahu, ketika Mas Ibra dan aku kecelakaan, Mas Ibra sempat sadarkan diri dan ia menitipkan bayi dalam kandunganku untuk kau jaga. Aku ucapkan terimakasih untuk itu. Saat aku koma, kamu mau menjadi orang tua anakku. Bahkan, kamu juga mau menanggung semua biaya rumah sakitku sampai aku sadar 10 tahun kemudian. Mungkin permintaan tolongku ini benar-benar tidak tahu diri, aku mohon kau rawat Rara ya. Aku rasa, aku sudah tidak dapat merawat Rara, setelah aku bangun dari koma, dokter yang merawatku selama ini telah memberitahukan semuanya, ia juga memberitahuku kalau terjadi pendarahan di otakku karena benturan saat kecelakaan itu. Aku tahu, penyakit ini bisa kapanpun merenggut nyawaku dan mungkin kesadaranku juga tidak lama lagi akan hilang. Di sisa-sisa kesadaranku, ku mohon Anton, tolong rawat Rara. Tolong rawat dia selayaknya anakmu sendiri. Beritahu dia kalau dia sudah dewasa dan beritahu dia, bahwa  kami selalu menyayangi dia. Maaf karena kami tidak bisa menemani dia. Terimakasih Anton, sampai kapanpun, kami tidak akan melupakan semua kebaikanmu.
Anna Saira

Hiks hiks
Tanpa sadar air mataku telah mengalir deras.
Jadi, aku bukan anak kandung ayah. Jadi, selama ini orang tua kandungku telah meninggal dan selama ini, ayah Anton dan ibu Lena yang sudah berbaik hati merawatku. Jadi, waktu itu, bukan ayah yang meninggalkan ibu, melainkan karena memang aku bukan anaknya. Ibu juga meninggal bukan karena depresi ditinggal ayah Anton, melainkan karena penyakit yang dideritanya. Ya Allah, apa yang telah ku lakukan, aku selama ini sudah berbuat salah pada orang-orang yang justru telah merawatku.

“Ayah Anton, Ibu Lena, maafkan Rara hiks hiks” aku menangis sambil mendekap surat itu.
“Ayah, ibu kalian tidak boleh pergi. Rara gak mau sendiri di sini” aku berlari ke luar rumah, tidak kupedulikan hujan yang kini mengguyurku, aku hanya ingin bertemu dengan ayah Anton dan Ibu Lena, aku tidak ingin kehilangan mereka.

“Non Rara, ya ampun Non. Jangan keluar Non, hujan Non” tidak ku pedulikan teriakan Bik Sum. Aku harus ketempat mereka dan meminta maaf. Aku terus berlari, meskipun kini kepalaku sudah sangat pusing.
“Non Rara....” suara itu yang terakhir ku dengar, sebelum semuanya menjadi gelap.

Perlahan ku buka mataku. Aku ada di mana? Kenapa aku berada di sebuah taman “Ayah, Ibu, Natan, Rio, Bik Sum? Kalian dimana?” aku berteriak memanggil nama mereka.
“Tidakkah tempat ini sangat indah?” sebuah suara laki-laki dari arah belakangku mengagetkanku.
“Lohhh kakek? Kok kakek bisa ada di sini?” aku melihat dia sedang duduk sambil melihat ke arah langit.
“Tidakkah tempat ini sangat indah?” dia menanyakan hal yang sama. Mau tidak mau aku melihat ke sekeliling ku. Taman ini ditumbuhi oleh banyak bunga-bungan indah dengan warna yang beraneka ragam, langit yang cerah, semilir angin yang sejuk dan hamparan pemandangan hijau yang menyejukkan mata.
“Kamu mau tinggal di sini?” belum sempat aku memberi respon, kakek ini sudah bertanya lagi.
“Tidak mau, aku ingin bertemu ayah, ibuku, dan semua keluargaku”
“Kenapa? Kenapa kamu tidak mau tinggal di sini? Bukankan tempat ini sangat indah dan bukankah kamu tidak senang tinggal dengan orang tuamu?” aku terkejut karena dia mengetahui bahwa dulu aku tidak menyukai orang tuaku.
“Apakah kau sekarang mengerti?” aku menyerngitkan dahiku akan kata-katanya.
“Tempat yang paling indah bukan hanya tempat dengan sejuta pesonanya, tapi tempat dimana kamu dapat tersenyum dengan orang-orang yang kamu sayangi” dia menatapku sambil tersenyum.

Yahh, aku ingat kata-kata itu, kata-kata yang diucapkannya saat aku menolongnya dari kecelakaan di pemakaman waktu itu.
“Ya, aku mengerti, tapi sepertinya semua sudah terlambat, mereka sudah pergi kek. Mereka bahwa telah pergi, sebelum aku sempat untuk meminta maaf. Andai saja waktu bisa berputar, aku pasti akan memperbaiki semuanya kek” aku berkata sambil menahan tangisku.
“Benarkah kau akan memperbaiki semuanya? Mungkin saja Tuhan berbaik hati mengabulkan semuanya” tanyanya sambil tersenyum padaku.
“Pasti” jawabku dengan yakin. Dan tiba-tiba saja aku merasa, seolah-olah ada sesuatu yang menarikku. Ku lihat wajah kakek itu, dia hanya tersenyum padaku dan berkata sesuatu.
“Perbaikilah semuanya, Nak” itu kata terakhirnya sebelum semua menjadi gelap.

“Rara... Rara. Kamu kenapa sayang?” sayup-sayup aku mendengar suara orang memanggilku dan diiringi dengan guncangan pada tubuhku. Perlahan ku buka mataku.
“Ibu!” sungguh hal yang mengejutkan, Ibu Lena yang kini ada dihadapanku dan langsung saja ku peluk dirinya.
“Ibu, Ibu sama Ayah masih hidup? Ibu baik-baik aja kan?”

Awww
Ibu menjentik dahiku dengan jarinya.
“Kamu doain ibu dan ayah kenap-napa ya? Duhhh kamu aneh-aneh aja sih. Pasti kamu mimpi burukkan, sampe manggil-manggil nama ibu dan ayah. Ayok cepetan bagun, terus shalat subuh”  ujar ibuku panjang lebat, tapi sayang tidak terlalu ku pedulikan karena aku sungguh takjub dengan semua ini.
“Loh kenapa kamu nangis?”
“Ibu maafin Rara ya, kalau selama ini Rara udah jahat sama Ibu. Maaf Bu, pokoknya Ibu gak boleh tinggalin Rara sendiri” langsung saja ku peluk lagi dirinya. Ku lihat dirinya tersenyum padaku. Senyum yang sangat tulus.

Sesudah melaksanakan shalat subuh dan mengucapkan banyak terimakasih pada Allah, aku segera turun ke bawah dan ku lihat ayahku sedang membaca koran, ibu sedang memasak sarapan kami. Segera saja ku hampiri ayahku dan ku peluk dia.
“Duhh, ini kenapa anak gadis ayah pagi-pagi udah manja aja ya?” kata ayahku sambil melirik padaku.
“Ayah, maafin Rara ya, kalau selama ini Rara udah ngerepotin ayah, bikin kesel ayah. Pokoknya maafin Rara ya yah?” ujarku sambil mempererat pelukanku.
“Iya iya, tapi ini ayahnya dilepasin dulu dong. Ayah gak bisa nafas nih”
“Hehe maaf ayah”

Akhirnya, pagi ini, aku dapat berkumpul dengan keluargaku dengan perasaan bahagia, ada ayah, ibu, dan dua adik laki-lakiku. Rasanya sudah lengkap dan untunglah semua itu hanya mimpi, ketika ku tanyakan pada ayahku, apa dia akan mengirimkan aku ke asrama, ternyata itu tidak akan dilakukannya. Dan ketika ku tanyakan tentang statusku yang sebenarnya ayah dan ibu sempat kaget dan bertanya dari mana aku tahu, tapi akhirnya mereka menceritakan kejadian sebenarnya, tapi walaupun demikian, mereka tetap saja akan menyayangiku, meskipun aku bukanlah anak kandung mereka. Ayah Anton juga menunjukan foto ayah dan ibu kandungku dan hal yang mengejutkanku adalah foto ayahku. Wajahnya sangat mirip dengan kakek yang waktu itu aku tolong, meskipun di foto ini, wajah ayahku terlihat lebih muda.

Siang harinya, aku, ayah, dan ibu memutuskan untuk ke makan orang tua kandungku, ternyata makam ayah kandungku berada di sebelah makan ibu kandungku. Setelah banyak bercerita dan berdoa untuk kedua orang tuaku. Aku segera pergi dari pemakaman itu. Ketika di pintu pemakaman, aku menengok lagi ke makan orang tuaku dan betapa terkejutnya aku, aku melihat seperti ada bayangan ibu dan kakek itu, ahh bukan, tapi ayahku, mereka tersenyum padaku. Sambil menahan tangis bahagia, aku tersenyum dan melambaikan tangan pada mereka.
“Ayah, Ibu, aku sayang pada kalian. Kalian harus baik-baik ya di sana, tunggu Rara. Kita pasti akan berkumpul lagi” ujarku pelan sebelum bayangan mereka menghilang.
“Ayuk Ra, kita pulang” ajak ayahku sambil mengulurkan tangannya. Ku sambut uluran tangan tersebut dan tak lupa, ku kandeng juga tangan ibuku.

Ya Allah terimakasih karena Engkau telah memberikan tempat terindah untukku pulang


Cerita ini hanya fiksi dan murni hasil imajinasi penulis dan ditujukan untuk memenuhi tantangan menulis KOMBUN dengan tema “tempat terindah”. Silahkan kritik dan sarannya karena penulis masihlah pemuda dalam dunia karya fiksi ini.
Mohon bijak dalam membaca ya dan mohon untuk tidak memplagiatkan segala tulisan yang terdapat di blog ini. Terimakasih :)


Pengikut