Sabtu, 17 Januari 2015

FREEDOM WRITERS, I'm home!



RESENSI FILM FREEDOM WRITERS


Judul                : Freedom Writers
Sutradara         : Richard LaGravenese
Produksi          : Paramount Pictures
Tahun               : 2007
Berdasarkan    : The Freedom Writers Diary
Genre              : Drama
Durasi             : 122 Menit
Pemain            
  • Hilary Swank sebagai Erin Gruwell
  • Scott Glenn sebagai Steve Gruwell
  • Imelda Staunton sebagaiMargaret Campbell
  • April Lee Hernandez sebagai Eva Benitez
  • Mario sebagai Andre Bryant
  • Jaclyn Ngan sebagai Sindy Ngor
  • Hunter Parrish sebagai Ben Daniels
  • Deance Wyatt sebagai Jamal Hill
  • Antonio Garcia sebagai Miguel


 Freedom Writers merupakan film bergendre drama yang diangkat dari kisah nyata berdasarkan buku The Freedom Writers Diary karya Erin Gruwell yang ditulis oleh murid-murid yang berada di ruang 203 Woodrow Wilson H.S Long Beach, California, Amerika Serikat.. Film yang disutradarai oleh Richard LaGravenese ini bercerita tentang perjuangan seorang guru di wilayah New Port Beach, Amerika Serikat untuk memunculkan motivasi dan mengubah paradigma siswa di kelasnya yang keliru mengenai kehidupan antarras. Dikisahkan, Erin Gruwell yang merupakan seorang guru baru yang memiliki idealisme tinggi mengenai pendidikan yang  mampu membebaskan anak dari ‘peperangan’ di masyarakat yang masih menganut paham rasis yang tinggi datang ke Woodrow Wilson High School sebagai guru Bahasa Inggris untuk kelas khusus anak-anak korban perkelahian antargeng rasial.

“… kau membela anak-anak di ruang sidang, pertempuran sudah berakhir. Aku pikir perkelahian yang sebenarnya harus terjadi di ruang kelas.”

Erin Gruwell mempunyai impian yang indah tentang murid-murid yang akan dididiknya kelak, ia akan memberikan pelayanan pendidikan yang layak bagi murid-murid karena menurutnya tindakan tepat untuk menolong anak-anak bukanlah dengan membela mereka di ruang sidang, tetapi membantu mereka melalui pendidikan untuk melawan kebodohan. Namun, pada hari pertamanya mengajar, ia menyadari bahwa impiannya tidak akan mudah terwujud, dimana murid-murid di ruang 203 sangat sensitif terhadap perkelahian antargeng rasial. Kesalahpahaman kecil saja mampu membuat mereka berkelahi, bahkan mereka duduk berkelompok berdasarkan ras nya masing-masing dan tidak mau duduk di kelompok ras yang berbeda. Belum lagi, rendahnya dukungan baik berupa motivasi maupun sarpras dari pihak sekolah terhadap murid-murid di kelas 203. Hal ini dikarenakan pihak sekolah beranggapan pemberian pelayanan yang layak bagi murid-murid yang bahkan tidak mau berada di sekolah ini hanya akan sia-sia dan hanya merusak sarpras sekolah saja.
Menyadari hal tersebut, Erin Gruwell melakukan berbagai cara agar dapat menyajikan pelajaran agar dapat membantu mereka untuk memperoleh pendidikan yang layak, berbagai cara mengajar yang unik pun mulai diterapkannya, mulai dari memberikan mereka buku The Diary of Anna Frank, menulis buku harian, belajar menggunakan musik melalui penyanyi terkenal yang disukai murid-murid di kelasnya, menyajak mereka mengujungi museum korban perang antarras, mendatangkan dan melakukan diskusi umum antara murid-muridnya dengan saksi hidup korban perang antarras, dan bahkan mendatangkan orang yang menulis kisah hidup Anna Frank untuk berdiskusi dengan murid-muridnya.
Namun, semua itu tentu tidaklah terwujud dengan perjuangan yang mudah, Erin Gruwellbahkan harus berkeja sambilan di beberapa tempat, seperti menjual bra di toko, bekerja di hotel dan perjuangan yang paling besar adalah dia harus rela diceraikan suaminya karena suaminya beranggapan bahwa dia kurang diperhatikan oleh istrinya dan dia merasa seakan-akan dialah istrinya karena dia lebih sering berada di rumah dibandingkan dengan Erin Gruwell. Selain Erin Gruwell, murid-murid di 203 ini pun melakukan perjuangan yang besar, bagaimana terjadinya pertemburan batin, apakah harus memilih kebenaran dengan resiko diacuhkan dari kelompoknya dan bahkan dapat mengancam nyawanya sendiri atau memilih kelompoknya, namun mengabaikan pihak-pihak yang tersakiti. Bagaimana murid-murid di ruang 203 belajar untuk mengenal teman-teman sekelasnya dan menghargai mereka sebagai ‘manusia’ yang sama hak dan kewajibannya. Hingga pada akhirnya, murid-murid di ruang 203 menjadi keluarga.
“…Aku menatap langit menunggu sesuatu terjadi. Ibuku sudah tak punya keluarga untuk diminta tolong, tak punya uang pemasukan. Mengapa repot-repot datang ke sekolah atau mendapatkan nilai bagus kalau kau tunawisma? Bus berhenti di depan sekolah, rasanya aku ingin muntah. Aku kenakan pakaian dari tahun kemarin, sepatu lama, tak ada potongan rambut baru. Aku terus berpikir aku akan ditertawakan. Sebaliknya, aku disambut oleh beberapa teman yang berada di kelas Bahasa Inggrisku tahun lalu. Dan itu kenyataanku Mrs. Gruwell guru Bahasa Inggrisku dari tahun lalu, sosok satu-satunya yang membuatku berpikir tentang harapan. Berbicara dengan teman-teman tentang kelas Bahasa Inggris tahun kemarin dan tour kami aku mulai merasa lebih nyaman. Kuterima jadwalku dan guru pertamaku adalah Ibu Gruwell di ruang 203. Aku melangkah ke dalam ruang dan merasa seoalah-olah semua masalah dalam hidup tak begitu penting lagi. Aku pulang ke rumah.”

“Aku selalu merasa sendirian, diremehkan, dan terbuang di lingkungan rumahku sendiri, tapi saat berada di kelas Bahasa Inggris bersama Bu Erin, aku merasa berada di dalam rumah bersama keluargaku sendiri. Terima kasih Bu Erin”


Film ini cukup baik untuk ditonton oleh dewasa dan remaja yang telah berusia 17 tahun tentunya. Kenapa harus yang sudah 17 tahun? Karena pada beberapa scene akan tergambar adengan kekerasan seperti perkelahian antarsiswa dan antargeng, menggunakan sentaja api untuk mengancam orang bahkan membunuh orang. Pada film ini, adegan kekerasannya cukup terlihat jelas dan terdapat pada scene-scene awal, walaupun adegannya tidaklah begitu parah/dramatis. Selain itu, terdapat pula adegan yang berbeda dengan kultur ketimuran kita, yaitu adegan ciuman atau berpelukan antara lawan jenis yang kurang baik bila ditonton oleh anak-anak. Film ini juga recommended untuk calon guru atau bahkan guru senior karena film ini adalah menggambarkan dengan baik bagaimana perjuangan guru yang tak pernah lelah untuk memotivasi siswa, bahkan hingga sang guru harus mengorbankan pernikahannya karena sang suami merasa istrinya kurang perhatian kepadanya. Dari film ini juga kita akan merasa tersentil karena kita sering kali mengganggap bahwa kita adalah orang yang paling benar dan kelompok kita adalah yang terbaik daripada kelompok lain yang sejenis, padahal kita maupun kelompok kita ada karena kita saling melengkapi dan seharusnya saling melindungi untuk menciptakan peradaban yang lebih baik tanpa harus membedakan kita dari kelompok, suku, warna kulit, latar belakang keluarga mana pun karena kita semua sama di mata pendidikan dan bahkan dunia. Selain itu, film ini juga dapat menumbuhkan motivasi atau membangkitkan lagi idealisme sebagai tenaga pendidik agar lebih profesional lagi dan selayaknya memandang bahwa setiap individu itu unik, tak ada yang bodoh ataupun nakal, lingkunganlah dan keluargalah yang banyak mempengaruhinya. Oleh karena itu, guru selayaknya ‘lentera dalam kelas’ harus mempu membimbing mereka ke arah yang lebih baik. Namun, yang paling terpenting dari film ini adalah bagaimana seorang guru mampu ‘menyentuh hati’ para muridnya, sehingga mereka mampu merasa bahwa mereka diakui dan di kelas ini lah mereka mempunyai keluarga.
Kata-kata yang cukup menyentil manusia akan apa yang ditinggalkannya kelak di dunia ini dan telah disampaikan dengan dalam film ini, yaitu:

“Kau ingin tahu bagaimana jika kau mati? Kau akan membusuk di dalam tanah sementara orang lain akan tetap hidup dan mereka akan melupakanmu. Jika kau membusuk dalam tanah apakah penting lagi diakui sebagai seorang gangster sejati? Jika kau mati, tidak akan ada orang yang akan mengingatmu karena yang kau tinggalkan di dunia ini hanyalah kebencian berupa karikatur rasis seperti ini!”


Star rating yang saya berikan untuk film ini adalah :


--------------------------------------------------
"Tulisan ini dipersembahkan untuk memenuhi tantangan Holiday Challenge part 1 yang bertemakan menulis resensi film"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut