Kamis, 01 Januari 2015

UNFORGETABBLE LOVE



UNFORGETABBLE LOVE

Aku masih setia berdiri di balik dinding kaca ini. menatap kerlap kerlip lampu kendaraan yang memadati kemacetan kota Jakarta ini, ditambah butiran air yang berlomba-lomba membasahi area kering di lahan aspal ini.
Suasana ini mengingatkanku akan kejadian beberapa tahun lalu.

Brakkkk

“Bunda.. maksud Bunda apa sih?”  Tanyaku marah, setelah menggebrak meja dihadapah aku dan Bunda. Sampai detik ini, aku masih tidak mengerti dengan keputusan Bundah melarangku melanjutkan kuliah di Amerika.

“Perlu Bunda ulangi sekali lagi? Kalau kamu mau kuliah, kuliah di Indonesia saja, di sini juga banyak universitas bagus yang Bunda yakin mampu kamu masuki” ujuar Bunda dengan intonasi suara yang sudah naik satu oktaf dari biasanya dia bicara, matanya juga sudah mulai berkaca-kaca.

“Tapi Bunda, harusnya ada alasan yang jelas dong? Bunda kan tau, impian Albar sejak dulu, Albar bisa kuliah di Negara adi daya itu, Bun!” bentakku, aku sudah benar-benar kehilangan kesabaran. Baru kali ini, aku begitu marah dengan Bundaku, bukan maksud ingin durhaka kepada Bundaku, tapi aku benar-benar kecewa. Aku tahu, semenjak ayah meninggal 1 tahun lalu karena penyakit paru-parunya, Bundalah yang bekerja keras untuk membiayai sekolahku dan tiga orang adikku yang masih berada di jenjang sekolah dasar. Tapi, akupun tidak akan meminta biaya selama aku kuliah di sana, tidak peduli aku harus mejadi kuli di sana, yang jelas aku pasti mampu membiayai hidupku di sana.

“Suatu saat kamu akan mengerti nak, apapun yang terjadi Bunda tidak mengizinkan kamu kuliah di luar negeri, tidak ada bantahan” tanganku terkepal kuat, hingga kuk jariku memutih dan Bunda dengan teganya pergi begitu saja meninggalkanku.
Setelah pertenggaran itu, aku jarang bicara dengan Bunda, aku lebih memilih aktif di luar rumah, entah itu ikut berbagai ekskul atau bahkan sekedar nongkrong saja.

Tok tok tok
“Kak, Afni mau curhat nih sama kakak” kepala adikku menyembul dari balik pintu kamarku.  Afni adalah adik pertamaku, usianya baru 12 tahun.

“Kak, kok Bunda jadi aneh ya? Masa sekarang Bunda gak pernah masak, gak mau nyuciin baju kita, pokoknya gak kaya dulu lagi kak” cerita adikku dengan wajah letihnya.  Pantas saja, masakan di rumah ini kadang-kadang rasanya gak jelas, jadi selama ini yang masak itu Afni. Memang semenjak kejadian pertengkaran itu, aku melakukan semuanya sendiri dan tidak peduli dengan apa yang terjadi di rumah. Toh, semuanya sama saja.

“Kakak juga gak tahu dek, kakak juga gak ngerti dengan jalan pikiran Bunda, dia jadi berubah, dia jadi orang yang gak kita kenal, kita sabar aja, kakak pasti bantuin kalian kok, nanti kakak coba bicara sama Bunda” ya, aku harus bicara sama Bunda. Bunda gak bisa seenaknya gitu dong sama kita anak-anaknya.

Brugh…
“Pergi kamu dari rumah ini, bawa juga adik-adikmu, silahkan kamu hidupi dirimu dan adik-adikmu, biar kamu tahu bagaimana susahnya menghidupi 4 orang anak yang bahkan tidak tahu terimakasih” tubuhkun jatuh ke lantai teras rumahku, tapi tidak sesakit hatiku yang kini menatap nanar pada orang yang dulu sering membacakan dongeng padaku, yang sering mengelus punggungku saat aku merasa lelah. Lalu siapa dia, siapa orang ini yang bediri marah dihadapanku saat aku berkata bahwa dia telah begitu tidak adil pada kami. Dia malah mengusir aku dan adikku. Dia bahkan bukan Bundaku lagi, dia bukan Bundaku. Baiklah, kalau dia mau kami pergi aku akan pergi.

“hiks hiks hiks.. Bunda maafin bang Albar, maafin kita Bunda, jangan usir kita, nanti kita hidup di mana Bunda?” rengek adik-adikku, sambil menangis dan berlutut memohon maaf pada Bundaku.

“ckk…. Afni, Anwar, Adel sudah cukup, untuk apa kalian mengemis maaf pada orang yang bahkan tidak peduli pada kita, sebaiknya kita segera berkemas dan pergi dari rumah ini, kita tunjukan pada DIA, kalau kita bisa hidup tanpa DIA” bentakku marah dengan menekankan pada kata dia dan menyeret adikku untuk segera berkemas. Yahh, mulai sekarang tidak perlu memanggilnya Bunda lagi, dia bukan lagi seorang ibu, mana ada seorang ibu yang tega membuang anaknya sendiri, semarah apapun dia. Jelas dia adalah orang asing yang entah bagaimana sekarang sedang mendiami tubuh perempuan yang dulu sangat kami cintai ini.

Huffff…
Kuhelan nafas lelah, masih memandang kemacetan ibu kota padahal jam sudah menunjukan pukul 9 malam. Mengingat kejadian itu, memang masih membuatku muak dan lelah. Tidak habis pikir, itulah yang selalu terlintas di pikiranku setiap mengingat kejadian itu. Bagaimana mungkin seorang ibu tega mengusir anak-anaknya dan bahkan sampai kini tidak ada niatan dari dia untuk mencari anak-anaknya.


Semenjak pengusiran itu, aku dan adikku tinggal di rumah sederhana milik Bapak Bagus, seorang dermawan yang entah bagaimana saat malam itu hampir menabrak kami dan dengan baiknya dia menawarkan kami untuk tinggal di rumah sederhana yang dulu ditempatinya sewaktu dia bujangan, dia bilang hitung-hitung ada yang merawat rumahnya sewaktu aku menceritakan pengusiran yang dilakukan oleh Bundaku.

Meskipun, sekarang kami hidup sendiri, tapi entah kenapa selalu ada saja keberuntungan yang menyelimuti kami, seperti adik-adikku yang mendapatkan beasiswa dari sekolahnya sampai mereka lulus dan aku yang bekerja sebagai tenaga pengajar di sebuah sekolah internasional, tentu saja dengan bantuan dari Pak Bagus dank arena otakku yang dapat dikatakan lumayan pintar ini. bukannya sombong, tapi akau memang selalu meraih peringkat satu sejak SD hingga lulu SMA. Aku juga kuliah di salah satu universitas terbaik di negeri ini, bukanlah beruntung hidupku.

Kini, kehidupan kami bahkan jauh lebih baik, aku yang telah menjadi seorang arsitek handal, tentunya telah lebih dari cukup untuk membiayai kehidupan kami. Aku bahkan telah membangun rumah impian ku dulu yang sering ku ceritakan pada Ayah dan Bundaku hanya dalam waktu satu tahun setelah aku berkarir.

“teringat ibu ya kak?” suara Afni tiba-tiba menginterupsi lamunanku malam ini. Semenjak kami berpisah dari Ibu, Afni memang banyak berubah, dia lebih dewasa dalam menyikapi banyak hal, mungkin karena dia tidak mau membebaniku dan adik-adiknya.

“kamu kok belum tidur? Bukannya besok hari pertama kuliah kamu ya?” tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan, aku memang sedikit malas membicarakan masalah Bunda karena hanya membangkitkan luka lama.

“belum ngantuk kak. Kak, keadaan Bunda gimana ya? Meskipun begitu, dia adalah Bunda kita kan, orang yang sudah melahirkan kita”

“tidak usah memikirkan orang yang bahkan tidak memikirkanmu” jawabku dingin.

“hemmm, mungkin Bunda punya alasan sendiri kak kenapa waktu itu dia mengusir kita. Afni cuma mau tahu gimana Bunda sekarang, dia hidup sendirian, kalau dia kenapa-kenapa gimana? Siapa yang akan bantu dia”

“itu pilihan dia sendiri waktu dia memutuskan untuk mengusir kita. Lebih baik kamu pergi tidur dan tidak usah memikirkan hal yang tidak-tidak” jawabku mulai kurang nyaman dengan pembicaraan ini. walaupun dengan wajah murungnya Afni tetap mematuhi perkataanku.
Ting tong ting tong
“Assalamua’laikum”
“Aa’alaikumsalam… wah om Bagus, kok datang gak bilang-bilang, kan gak perlu repot-repot ke sini, nanti biar Albar aja yang ke tempat Om Bagus” ujarku antusias dan mempersilahkannya masuk.

“Gak masalah kok, sekalian om mau liat keadaan kalian gimana. Ohhh ya, mana adik-adikmu? Kok gak kelihatan” tanya om Bagus sambil celingukan ke ke sana ke mari.

“ada kok om, kan ini hari minggu jadi lagi pada dirumah, yah males-malesan lah. mau aku panggilkan?”
“iya boleh, soalnya ada hal penting yang mau om sampaikan ke kalian” jawab om Bagus dengan wajah serius.

Setelah kami semua berkumpul di ruang keluarga, om Bagus meminta aku untuk menyetel sebuah video yang telah dia masukan dalam sebuah CD. Sebenarnya, om Bagus mau bicara atau ngajak kita nonton sih. Beberapa detik kemudian, layar TV ku menampilkan wajah seorang wanita yang masih terlihat cantik meskipun di usianya yang sudah tidak muda lagi dan wajah itu, merupakan wajah dari orang yang begitu aku rindukan belakangan ini. Ya, dia wajah Bundaku.

“hai, apaka kabar sayang? Anak-anak Bunda yang ganteng dan cantik. Pasti sekarang kalian sudah besar ya. Hmmm, mungkin sekarang Albar sudah jadi arsitek hebat seperti impian kamu kan? Afni juga sudah masuk kuliah ya? Anwar dan Adel pasti sudah masuk SMA dan SMP. Selamat ya untuk kalian semua. Bunda kangen sama kalian. Banyak hal yang ingin Bunda katakana dan apapun yang nantinya kalian denger, kalian harus janji sama Bunda kalau kalian akan selalu hidup dengan baik, bahagia dan akan selalu saling menjaga. Janji ya?” Wajah Bundaku terlihat sedih, tapi dia tetap memaksakan senyum manisnya, senyum hangat yang sangat aku rindukan.

“sebelumnya, Buda mau minta maaf untuk semua kelakuan Bunda yang telah kasar pada kalian. Pasti kalian bertanya-tanyakan kenapa Bunda jadi seperti itu? Seperti yang selalu Bunda bilang, Bunda punya alasan dan sekarang waktunya Bunda kasih tahu apa alasannya.” Aku melihat Bunda menarik nafas dalam dan matanya mulai berkaca-kaca.

“Bunda sakit kanker rahim stadium akhir nak, umur Bunda gak akan lama lagi. Bunda gak bisa liat kalian bahagia, Bunda gak bisa nemenin kalian lagi pas kalian sedih, Bunda gak bisa ketawa bareng kalian lagi. Maafin Bunda yang merahasiakan semua ini dari kalian, Bunda melakukan ini supaya kalian bisa hidup tanpa Bunda. Kalian bisa saling menjaga, bisa merawat diri kalian dengan memasak, mencuci, kalian bisa mencari uang sendiri karena Bunda nantinya tidak akan bisa melakukan itu semua lagi untuk kalian lagi, kalian harus bisa melakukannya sendiri karena kalau bukan diri kalian sendiri siapa yang bisa menolong diri kalian?. Maafkan Bunda karena harus melakukan semua ini, dengan begini kalian pasti akan terbiasa hidup tanpa Bundakan dan saat Bunda harus pergi Bunda yakin kalian gak akan perlu melihat kesakitan Bunda dan kalian gak akan terluka karena kalian membenci Bunda. Tapi, Bunda gak akan benci kalian dan Bunda juga akan selalu sayang dan maafin kalian. Kalian gak perlu khawatir dengan hidup kalian nantinya, ada om Bagus yang akan membantu kalian. Maafkan Bundamu ini nak, maafkan keegoisan Bunda, maafkan Bunda yang harus meninggalkan kalian, tapi cinta Bunda akan selalu mengertai kalian dan Bunda harap tidak akan kalian lupakan. Hiduplah dengan baik dan raihlah keahagiaan kalian karena Bunda akan bahagia saat kalian bahagia.”

Video itu telah berakhir dan aku masih diam membisu, bingung dengan semua ini, sedangkan adik-adikku telah menangis entah sejak kapan aku tak memperhatikannya, yang jelas aku butuh penjelasan untuk ini semua. Yah, pasti orang di depanku ini bisa menjelaskannya.

“Om akan menjelaskan semuanya” jawabnya cepat sebelum aku bertanya dan aku hanya menganggukan kepala sebagai tanda persetujuan.

“Enam tahun lalu, Bunda kalian adalah pasienku, dia terkena kanker rahim stadium akhir dan ketika mendengar kabar itu, dia menangis, ku pikir dia menangis karena frustasi setelah mengetahui penyakitnya, tetapi dia menangis karena dia memikirkan bagaimana nasib kalian kelak. Satu bulan kemudian, aku terkejut dengan penolakan kemoterapi, Bunda kalian justru menawarkan sesuatu yang gila kepadaku” jeda om Bagus sejenak, sambil memijat pelipisnya.

“Bunda kalian menawarkan ginjalnya untuk istriku yang sedang membutuhkan cangkok ginjal dan sebagai imbalannya aku harus menjaga kalian dengan baik. Semua pertemuan kita, itu semua telah direncanakan oleh Bunda kalian. Dia bahkan, mengikuti kalian saat kejadian pertama kita bertemu. Dia juga sering diam-diam memperhatikan kalian, menanyakan kabar kalian padaku. Bunda kalian sungguh luar biasa, dia menahan rasa sakitnya seorang diri, dia kesakitan dan meninggal dalam kesendirian. Itu semua dia lakukan demi kalian, dia tidak mau kalian membanting tulang demi membiayai pengobatan dirinya, dia tidak mau kalian menangisi dirinya, dna dia juga tidak mau kalian melihat bagaimana menderitanya dia. Asal kalian tahu, di saat-saat terakhirnya pun, dia masih menanyakan kabar kalian dan apakah kalian hidup bagaia. Ohhh ya, dan kalian tahu? Hadiah ulang tahun yang kalian terima selama 6 tahun ini, sebenarnya bukan dari om, tapi dari Bunda kalian, dia ingin kalian selalu berada di sisi kalian, meskipun itu hanya melalui benda-benda yang ada di sekitar kalian. Maafkan om yang baru bisa menyampaikan ini sekarang, karena memang ini pesan dari Bunda kalian” akhir cerita om Bagus dan dia sedikit menundukan kepalanya, menandakan penyesalannya.

Bagai tersambar petir, rasanya tubuhku begitu lemas dan tanpa sadar air mataku telah menetes dengan derasnya. “Bunda…. Bunda… maafin Albar Bunda, maaf” ujar ku lemah. Bagaimana mungkin aku sebagai anaknya tidak mengetahui semua penderitaan Bunda dan justru aku menutup mata dan malah menganggap Bunda jahat dan berniat melupakannya.

“Om dimana makam Bunda? kita harus minta maaf om” tanya Afni dengan mata yang tidak lelahnya menitikkan air mata.
“Besok om akan tunjukan makan Bunda kalian, dan sekarang sebaiknya kalian tenangkan diri kalian dulu. Om permisi pergi dulu ya.” Pamit om Bagus.

Ku letakkan setangkai lili putih kesukaan Bunda, sudah setahun semenjak terungkapnya perilaku Bunda ketika itu dan sampai detik ini pun aku masih merasakan semua ini bagaikan mimpi saja, semuanya terasa begitu indah tapi juga menyakitkan. Indah karena bisa mencapai apa yang kau inginka, tapi menyakitkan saat harus dibayar dengan perginya orang yang kau sayangi.

Meskipun begitu, aku tahu kalau Bunda akan selalu menemani kami dan dia akan selalu melihat kami dari tempatnya. Seperti yang selalu Bunda katakan, berikan yang terbaik dalam hidupmu karena kamu tidak akan tahu kapan maut akan mengambil semua waktu dan ruang yang kau miliki.

------------------------------------
" Tulisan ini dipersembahkan untuk memperingati hari ibu dan diikutsertakan dalam lomba menulis cerpen bertemakan kasih ibu bukan sekedar lagu"



4 komentar:

Pengikut